KAWIN TANGKAP YANG TERJADI DI SUMBA BARAT DAYA MENJADI PERBINCANGAN MASYARAKAT NTT.
KAWIN TANGKAP YANG TERJADI DI SUMBA BARAT DAYA MENJADI PERBINCANGAN MASYARAKAT NTT.
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), arti kawin paksa adalah kawin yang tidak didasarkan
keikhlasan salah satu atau kedua pasangan, tetapi dipaksa oleh wali atau
keluarga.
Dalam arti lain kawin paksa merupakan tindakan melarikan seorang wanita tanpa izin, yang bertujuan untuk hidup bersama pasangan maupun menikah. Dapat juga berarti penculikan gadis di bawah umur atas persetujuannnya, Ini juga bisa diartikan dengan menculik pengantin wanita, baik dengan taktik, paksaan, maupun ancaman. Di Indonesia kebiasaan ini masih ada di beberapa tempat, seperti di Lombok NTB yang terjadi beberapa tahun lalu dan pada saat ini telah ramai berbincang di media social terkait kawin lari yang terjadi di Kab.Sumba Barat Daya, NTT.
Anastasia Natalia Lede, Mahasiswi asal Sumba Barat Daya NTT, menerangkan bahwa Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya merupakan bagian dari budaya yang di wariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang sejak puluhan tahun, dan telah mengikuti zaman, kawin paksa sudah jarang terjadi lagi di Sumba Barat Daya.
Namun, sejak tahun 2020, tradisi ini menimbulkan polemik. Kementerain Pemberdayaan Perempuan dan Anak memandang, tradisi kawin tangkap merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan berkedok pada budaya.
Perkawinan
adalah hak bagi pasangan yang saling mencitai
Perundang-undangan telah mengatur mengenai hak bagi seseorang untuk memilih kawin dengan calon suami/istrinya selama hal tersebut tidak melanggar hukum. Artinya, dalam kondisi bahwa kedua psangan tersebut tidak memiliki halangan kecuali protes/larangan orang tua, maka mereka tetap bisa melangsungkan perkawinan asalkan tidak melanggar hukum.
Untuk
melihat apakah perkawinan tersebut melanggar hukum atau tidak, maka merujuk
pada Undang-Undang Perkawinan.
Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
1. perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
Pasal 6 UU
No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan:
1. 1. Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Dari
pasal di atas maka bisa diketahui bahwa seseorang melakukan perkawinan harus didasarkan
atas persetujuan kedua calon mempelai, atau seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Posting Komentar untuk "KAWIN TANGKAP YANG TERJADI DI SUMBA BARAT DAYA MENJADI PERBINCANGAN MASYARAKAT NTT."
Silahkan berkomentar dengan sopan
Posting Komentar