Pidana Ketentuan Dalam KUHP Terbaru Pasal 64 - Pasal 102
Pidana Ketentuan Dalam KUHP Terbaru Pasal 64 - Pasal 102
Pasal
64
Pidana
terdiri atas:
a.
Pidana pokok;
b.
Pidana tambahan; dan
c.
Pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana tertentu yang ditentukan dalam
Undang-Undang.
Pasal
65
(1)
Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a terdiri atas:
a.
Pidana penjara;
b.
Pidana tutupan;
c.
Pidana pengawasan;
d.
Pidana denda; dan
e.
Pidana kerja sosial.
(2)
Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat atau
ringannya pidana.
Pasal
66
(1)
Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf b terdiri atas:
a.
Pencabutan hak tertentu;
b.
Perampasan Barang tertentu dan/ atau tagihan;
c.
Pengumuman putusan hakim;
d.
Pembayaran ganti rugi;
e.
Pencabutan izin tertentu; dan
f.
Pemenuhan kewajiban adat setempat.
(2)
Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat dikenakan dalam hal
penjatuhan pidana pokok saja tidak cukup untuk mencapai tujuan pemidanaan.
(3)
Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan 1 (satu)
jenis atau lebih.
(4)
Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan sama dengan pidana tambahan
untuk Tindak Pidananya.
(5)
Pidana tambahan bagi anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan Tindak
Pidana dalam perkara koneksitas dikenakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.
Pasal
67
Pidana
yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c merupakan
pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif.
Pasal
68
(1)
Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu.
(2)
Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas)
tahun berturut turut atau paling singkat 1 (satu) Hari, kecuali ditentukan
minimum khusus.
(3)
Dalam hal terdapat pilihan antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup
atau terdapat pemberatan pidana atas Tindak Pidana yang dijatuhi pidana penjara
15 (lima belas) tahun, pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan
untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut turut.
(4)
Pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20 (dua
puluh) tahun.
Pasal
69
(1)
Jika narapidana yang menjalani pidana penjara seumur hidup telah menjalani
pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) tahun, pidana penjara seumur
hidup dapat diubah menjadi pidana penjara 20 (dua puluh) tahun dengan Keputusan
Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.
(2)
Ketentuan mengenai tata cara perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi
pidana penjara 20 (dua puluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
7O
(1)
Dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
sampai dengan Pasal 54, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika
ditemukan keadaan:
a.
Terdakwa adalah Anak;
b.
Terdakwa berumur di atas 75 (tujuh puluh lima) tahun;
c.
Terdakwa baru pertama kali melakukan Tindak Pidana;
d.
Kerugian dan penderitaan Korban tidak terlalu besar;
e.
Terdakwa telah membayar ganti rugi kepada Korban;
f.
Terdakwa tidak menyadari bahwa Tindak
Pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;
g.
Tindak Pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;
h.
Korban Tindak Pidana mendorong atau menggerakkan terjadinya Tindak Pidana
tersebut;
i.
Tindak Pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin
terulang lagi;
j.
Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan
Tindak Pidana yang lain;
k.
Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau
keluarganya;
l.
Pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk diri
terdakwa;
m.
Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat berat Tindak
Pidana yang dilakukan terdakwa;
n.
Tindak Pidana terjadi di kalangan keluarga; dan/ atau
o.
Tindak Pidana terjadi karena kealpaan.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
a.
Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b.
Tindak Pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus;
c.
Tindak Pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat; atau
d.
Tindak Pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Pasal
71
(1)
Jika seseorang melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara
di bawah 5 (lima) tahun, sedangkan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan
pidana penjara setelah mempertimbangkan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54, orang tersebut
dapat dijatuhi pidana denda.
(2)
Pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dijatuhkan jika:
a.
Tanpa Korban;
b.
Korban tidak mempermasalahkan; atau
c.
Bukan pengulangan Tindak Pidana.
(3)
Pidana denda yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah pidana denda paling banyak kategori V dan pidana denda
paling sedikit kategori III.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak berlaku bagi orang
yang pernah dijatuhi pidana penjara untuk Tindak Pidana yang dilakukan sebelum
berumur 18 (delapan belas) tahun.
Pasal
72
(1)
Narapidana yang telah menjalani paling singkat 2/3 (dua per tiga) dari pidana
penjara yang dijatuhkan dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) tersebut tidak kurang
dari 9 (sembilan) bulan dapat diberi pembebasan bersyarat.
(2)
Narapidana yang menjalani beberapa pidana penjara berturut turut dianggap
jumlah pidananya sebagai 1 (satu) pidana.
(3)
Dalam memberikan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditentukan masa percobaan dan syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
(4)
Masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sama dengan sisa waktu pidana
penjara yang belum dijalani ditambah dengan 1 (satu) tahun.
(5)
Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditahan sebagai tersangka
atau terdakwa dalam perkara lain tidak diperhitungkan waktu penahanannya
sebagai masa percobaan.
Pasal
73
(l)
Syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 72 ayal (3) terdiri atas:
a.
Syarat umum berupa narapidana tidak akan melakukan Tindak Pidana; dan
b.
Syarat khusus berupa narapidana harus melakukan atau tidak melakukan perbuatan
tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama, menganut kepercayaan, dan
berpolitik, kecuali ditentukan lain oleh hakim.
(2)
Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diubah, dihapus,
atau diadakan syarat baru yang semata-mata bertujuan untuk pembimbingan narapidana.
(3)
Narapidana yang melanggar syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dicabut pembebasan bersyaratnya.
(4)
Pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dicabut
setelah melampaui 3 (tiga) Bulan terhitung sejak saat habisnya masa percobaan, kecuali
dalam waktu 3 (tiga) Bulan terhitung sejak habisnya masa percobaan, narapidana
dituntut karena melakukan Tindak Pidana yang dilakukan dalam masa percobaan.
(5)
Dalam hal narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dijatuhi pidana penjara
untuk waktu tertentu atau pidana denda paling sedikit kategori III, pembebasan
bersyarat yang bersangkutan dicabut.
Pasal
74
(1)
Orang yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara karena
keadaan pribadi, perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan.
(2)
Pidana tutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan kepada
terdakwa yang melakukan Tindak Pidana karena terdorong oleh maksud yang patut
dihormati.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku, jika cara melakukan
atau akibat dari Tindak Pidana tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa lebih
tepat untuk dljatuhi pidana penjara.
Pasal
75
Terdakwa
yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dapat dijatuhi pidana pengawasan dengan tetap memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54 dan Pasal 70.
Pasal
76
(1)
Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dijatuhkan paling lama
sama dengan pidana penjara yang diancamkan yang tidak lebih dari 3 (tiga) tahun.
(2)
Dalam putusan pidana pengawasan ditetapkan syarat umum, berupa terpidana tidak
akan melakukan Tindak Pidana lagi.
(3)
Selain syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam putusan juga dapat
ditetapkan syarat khusus, berupa:
a.
Terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan
harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul akibat Tindak Pidana
yang dilakukan; dan/atau
b.
Terpidana harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu tanpa mengurangi
kemerdekaan beragama, kemerdekaan menganut kepercayaan, dan/atau kemerdekaan
berpolitik.
(4)
Dalam hal terpidana melanggar syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
terpidana wajib menjalani pidana penjara yang lamanya tidak lebih dari ancaman
pidana penjara bagi Tindak Pidana itu.
(5)
Dalam hal terpidana melanggar syarat khusus tanpa alasan yang sah, jaksa
berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan mengusulkan kepada hakim
agar terpidana menjalani pidana penjara atau memperpanjang masa pengawasan yang
ditentukan oleh hakim yang lamanya tidak lebih dari pidana pengawasan yang
dijatuhkan.
(6)
Jaksa dapat mengusulkan pengurangan masa pengawasan kepada hakim jika selama
dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik, berdasarkan
pertimbangan pembimbing kemasyarakatan.
(7)
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara dan batas pengurangan dan perpanjangan
masa pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
77
(1)
Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan Tindak Pidana dan
dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara, pidana pengawasan
tetap dilaksanakan.
(2)
Jika terpidana dijatuhi pidana penjara, pidana pengawasan ditunda dan
dilaksanakan kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.
Pasal
78
(1)
Pidana denda merupakan sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana
berdasarkan putusan pengadilan.
(2)
Jika tidak ditentukan minimum khusus, pidana denda ditetapkan paling sedikit
Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
Pasal
79
(l)
Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan:
a.
Kategori I, Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah);
b.
Kategori II, Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
c.
Kategori III, Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
d.
Kategori IV, Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
e.
Kategori V, Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
f.
Kategori VI, Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
g.
Kategori VII, Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan
h.
Kategori VIII, Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(2)
Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
80
(l)
Dalam menjatuhkan pidana denda, hakim wajib mempertimbangkan kemampuan terdakwa
dengan memperhatikan penghasilan dan pengeluaran terdakwa secara nyata,
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi penerapan minimum
khusus pidana denda yang ditetapkan.
Pasal
81
(l)
Pidana denda wajib dibayar dalam jangka waktu tertentu yang dimuat dalam
putusan pengadilan.
(2)
Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menentukan
pembayaran pidana denda dengan cara mengangsur.
(3)
Jika pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar dalam jangka
waktu yang telah ditentukan, kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita
dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar.
Pasal
82
(1)
Jika penyitaan dan pelelangan kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 81 ayat (3) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan,
pidana denda yang tidak dibayar tersebut diganti dengan pidana penjara, pidana
pengawasan, atau pidana kerja sosial dengan ketentuan pidana denda tersebut
tidak melebihi pidana denda kategori II.
(2)
Lama pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
Untuk pidana penjara pengganti, paling singkat I (satu) Bulan dan paling lama 1
(satu) tahun yang dapat diperberat paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) Bulan
jika ada perbarengan;
b.
Untuk pidana pengawasan pengganti, paling singkat I (satu) Bulan dan paling
lama 1 (satu) tahun, berlaku syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
ayat (2) dan ayat (3); atau
c.
Untuk pidana kerja sosial pengganti paling singkat 8 (delapan) jam dan paling
lama 240 (dua ratus empat puluh) jam.
(3)
Jika pada saat menjalani pidana pengganti Sebagian pidana denda dibayar, lama
pidana pengganti dikurangi menurut ukuran yang sepadan.
(4)
Perhitungan lama pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan
pada ukuran untuk setiap pidana denda Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) atau
kurang yang disepadankan dengan:
a.
1 (satu) jam pidana kerja sosial pengganti; atau
b.
1 (satu) Hari pidana pengawasan atau pidana penjara pengganti.
Pasal
83
(1)
Jika penyitaan dan pelelangan kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 81 ayat (3) tidak dapat dilakukan, pidana denda di atas kategori II
yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat I (satu) tahun
dan paling lama sebagaimana diancamkan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) berlaku juga untuk
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang mengenai pidana penjara
pengganti.
Pasal
84
Setiap
Orang yang telah berulang kali dijatuhi pidana denda untuk Tindak Pidana yang
hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II dapat dijatuhi
pidana pengawasan paling lama 6 (enam) Bulan dan pidana denda yang diperberat
paling banyak 1/3 (satu per tiga).
Pasal
85
(1)
Pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan Tindak
Pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan hakim menjatuhkan
pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak
kategori II.
(2)
Dalam menjatuhkan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (l), hakim
wajib mempertimbangkan:
a.
Pengakuan terdakwa terhadap Tindak Pidana yang dilakukan;
b.
Kemampuan kerja terdakwa;
c.
Persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang
berhubungan dengan pidana kerja sosial;
d.
Riwayat sosial terdakwa;
e.
Pelindungan keselamatan kerja terdakwa;
f.
Agama, kepercayaan, dan keyakinan politik terdakwa; dan
g.
Kemampuan terdakwa membayar pidana denda.
(3)
Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan.
(4)
Pidana kerja sosial dijatuhkan paling singkat 8 (delapan) jam dan paling lama
24O (dua ratus empat puluh) jam.
(5)
Pidana kerja sosial dilaksanakan paling lama 8 (delapan) jam dalam 1 (satu)
Hari dan dapat diangsur dalam waktu paling lama 6 (enam) Bulan dengan memperhatikan
kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan/ atau kegiatan
lain yang bermanfaat.
(6)
Pelaksanaan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dimuat dalam
putusan pengadilan.
(7)
Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) juga memuat perintah jika
terpidana tanpa alasan yang sah tidak melaksanakan seluruh atau sebagian pidana
kerja sosial, terpidana wajib:
a.
Mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut;
b.
Menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja
sosial tersebut; atau
c.
Membayar seluruh atau sebagran pidana denda yang diganti dengan pidana keda
sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak
dibayar.
(8)
Pengawasan terhadap pelaksanaan pidana kerja sosial dilakukan oleh jaksa dan
pembimbingan dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.
(9)
Putusan pengadilan mengenai pidana kerja sosial juga harus memuat:
a.
Lama pidana penjara atau besarnya denda yang sesungguhnya dijatuhkan oleh
hakim;
b.
Lama pidana kerja sosial harus dijalani, dengan mencantumkan jumlah jam per
Hari dan jangka waktu penyelesaian pidana kerja sosial; dan
c.
Sanksi jika terpidana tidak menjalani pidana kerja sosial yang dijatuhkan.
Pasal
86
Pidana
tambahan berupa pencabutan hak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
ayat (1) huruf a dapat berupa:
a.
Hak memegang jabatan publik pada umumnya atau jabatan tertentu;
b.
Hak menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
c.
Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
d.
Hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas atas orang
yang bukan Anaknya sendiri;
e.
Hak menjalankan Kekuasaan Ayah, menjalankan perwalian, atau mengampu atas
Anaknya sendiri;
f.
Hak menjalankan profesi tertentu; dan/ atau
g.
Hak memperoleh pembebasan bersyarat.
Pasal
87
Kecuali
ditentukan lain oleh Undang-Undang, pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 86 huruf a, huruf b, hunrf c, dan huruf f hanya dapat dilakukan jika
pelaku dipidana karena melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih berupa:
a.
Tindak Pidana terkait jabatan atau Tindak Pidana yang melanggar kewajiban
khusus suatu jabatan;
b.
Tindak Pidana yang terkait dengan profesinya; atau
c.
Tindak Pidana dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang
diberikan kepadanya karena jabatan atau profesinya.
Pasal
88
Kecuali
ditentukan lain oleh Undang-Undang, pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 86 huruf d dan huruf e, hanya dapat dilakukan jika pelaku dipidana
karena:
a.
Dengan sengaja melakukan Tindak Pidana bersama-sama dengan Anak yang berada
dalam kekuasaannya; atau
b.
Melakukan Tindak Pidana terhadap Anak yang berada dalam kekuasaannya.
Pasal
89
Kecuali
ditentukan lain oleh Undang-Undang, pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 86 huruf g hanya dapat dilakukan jika pelaku dipidana karena:
a.
Melakukan Tindak Pidana jabatan atau Tindak Pidana yang melanggar kewajiban
khusus suatu jabatan;
b.
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya
karena jabatan; atau
c.
Melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun atau lebih.
Pasal
90
(1)
Jika pidana pencabutan hak dijatuhkan, lama pencabutan wajib ditentukan jika:
a.
Dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pencabutan hak dilakukan
untuk selamanya;
b.
Dijatuhi pidana penjara, pidana tutupan, atau pidana pengawasan untuk waktu
tertentu, pencabutan hak dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun lebih lama dari pidana pokok yang diiatuhkan; atau
c.
Dijatuhi pidana denda, pencabutan hak dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku jika yang
dicabut adalah hak memperoleh pembebasan bersyarat.
(3)
Pidana pencabutan hak mulai berlaku pada tanggal putusan pengadilan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal
91
Pidana
tambahan berupa perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b yang dapat dirampas meliputi Barang tertentu
dan/ atau tagihan:
a.
Yang dipergunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan Tindak Pidana;
b.
Yang khusus dibuat atau diperuntukkan mewujudkan Tindak Pidana;
c.
Yang berhubungan dengan terwujudnya Tindak Pidana;
d.
Milik terpidana atau orang lain yang diperoleh dari Tindak Pidana;
e.
Dari keuntungan ekonomi yang diperoleh, baik secara langsung maupun tidak
langsung dari Tindak Pidana; dan/ atau
f.
Yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal
92
(1)
Pidana tambahan berupa perampasan barang tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 91 dapat dijatuhkan atas Barang yang tidak disita dengan menentukan bahwa
Barang tersebut harus diserahkan atau diganti dengan sejumlah uang menurut
taksiran hakim sesuai dengan harga pasar.
(2)
Dalam hal Barang yang tidak disita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dapat diserahkan, Barang tersebut diganti dengan sejumlah uang menurut taksiran
hakim sesuai dengan harga pasar.
(3)
Jika terpidana tidak mampu membayar seluruh atau sebagian harga pasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberlakukan ketentuan pidana pengganti untuk
pidana denda.
Pasal
93
(1)
Jika dalam putusan pengadilan diperintahkan supaya putusan diumumkan, harus
ditetapkan cara melaksanakan pengumuman tersebut dengan biaya yang ditanggung
oleh terpidana.
(2)
Jika biaya pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar oleh
terpidana, diberlakukan ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.
Pasal
94
(1)
Dalam putusan pengadilan dapat ditetapkan kewajiban terpidana untuk
melaksanakan pembayaran ganti rugi kepada Korban atau ahli waris sebagai pidana
tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf d.
(2)
Jika kewajiban pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilaksanakan, diberlakukan ketentuan tentang pelaksanaan pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 sampai dengan Pasal 83 secara mutatis
mutandis.
Pasal
95
(1)
Pidana tambahan berupa pencabutan izin dikenakan kepada pelaku dan pembantu
Tindak Pidana yang melakukan Tindak Pidana yang berkaitan dengan izin yang
dimiliki.
(2)
Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mempertimbangkan:
a.
Keadaan yang menyertai Tindak Pidana yang dilakukan;
b.
Keadaan yang menyertai pelaku dan pembantu Tindak Pidana; dan
c.
Keterkaitan kepemilikan izin dengan usaha atau kegiatan yang dilakukan.
(3)
Dalam hal dijatuhi pidana penjara, pidana tutupan, atau pidana pengawasan untuk
waktu tertentu, pencabutan izin dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun lebih lama dari pidana pokok yang dijatuhkan.
(4)
Dalam hal dljatuhi pidana denda, pencabutan izin berlaku paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
(5)
Pidana pencabutan izin mulai berlaku pada tanggal putusan pengadilan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal
96
(1)
Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan jika Tindak
Pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2).
(2)
Pemenuhan kewajiban adat setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap
sebanding dengan pidana denda kategori II.
(3)
Dalam hal kewajiban adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi,
pemenuhan kewajiban adat diganti dengan ganti rugi yang nilainya setara dengan pidana
denda kategori II.
(4)
Dalam hal ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi, ganti
rugi diganti dengan pidana pengawasan atau pidana kerja sosial.
Pasal
97
Pidana
tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dapat dijatuhkan walaupun
tidak tercantum dalam perumusan Tindak Pidana dengan tetap memperhatikan ketentuan
Pasal 2 ayat(21.
Pasal
98
Pidana
mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah
dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat.
Pasal
99
(1)
Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak
Presiden.
(2)
Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan Di Muka Umum.
(3)
Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak
atau dengan cara lain yang ditentukan dalam Undang-Undang.
(4)
Pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil, perempuan yang sedang
menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai perempuan tersebut melahirkan,
perempuan tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa
tersebut sembuh.
Pasal
100
(1)
Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun
dengan memperhatikan:
a.
Rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau
b.
Peran terdakwa dalam Tindak Pidana.
(2)
Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) harus
dicantumkan dalam putusan pengadilan.
(3)
Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah
putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
(4)
Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi
pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan
Mahkamah Agung.
(5)
Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak
Keputusan Presiden ditetapkan.
(6)
Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki,
pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Pasal
101
Jika
permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan
selama l0 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan
diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan
Keputusan Presiden.
Pasal
102
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dengan
Undang-Undang.
Penjelasan
:
Pasal
65
Ayat
(1)
Ketentuan
ini memuat jenis-jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Ancaman
pidana pokok terhadap Tindak Pidana yang dirumuskan dalam Buku Kedua pada
dasarnya meliputi jenis pidana penjara dan pidana denda. Pidana tutupan, pidana
pengawasan, dan pidana kerja sosial pada dasarnya merupakan suatu model
pelaksanaan pidana sebagai altematif dari pidana penjara. Pencantuman jenis
pidana ini merupakan konsekuensi diterimanya hukum pidana yang memperhatikan
keseimbangan kepentingan antara perbuatan dan keadaan pelaku Tindak Pidana (daad-daderstrafrecht)
untuk mengembangkan alternatif selain pidana penjara.
Melalui
penjatuhan jenis pidana ini terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah, dan
masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyaratkan terpidana
dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat, misalnya penjatuhan pidana berupa
pidana kerja sosial.
Ayat
(2)
Pada
dasarnya hakim mempunyai pilihan untuk menjatuhkan salah satu pidana yang
bersifat alternatif, namun dalam melakukan pilihan tersebut hakim senantiasa
berorientasi pada tujuan pemidanaan, dengan mendahulukan atau mengutamakan
jenis pidana yang lebih ringan jika hal tersebut telah memenuhi tujuan
pemidanaan.
Pasal
66
Huruf
d
Ganti
rugi dalam ketentuan ini sama dengan restitusi sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan saksi dan
korban.
Pasal
67
Dalam
ketentuan ini, Tindak Pidana yang dapat diancam dengan pidana yang bersifat
khusus adalah Tindak Pidana yang sangat serius atau yang luar biasa, antara
lain, Tindak Pidana narkotika, Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana korupsi,
dan Tindak Pidana berat terhadap hak asasi manusia. Untuk itu, pidana mati
dicantumkan dalam bagian tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini
benar-benar bersifat khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain,
pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh karena itu, harus
selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya yakni pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal
69
Ayat
(l)
Ketentuan
ini mengatur mengenai masa menjalani pidana penjara paling singkat 15 (lima
belas) tahun sebelum diubah dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana
penjara 20 (dua puluh) tahun yang dihitung sebagai masa menjalani pidana setelah
perubahan.
Pasal
71
Ayat
(l)
Ketentuan
ini dimaksudkan untuk mengatasi sifat kaku dari perumusan pidana yang bersifat
tunggal yang seolah-olah mengharuskan hakim untuk hanya menjatuhkan pidana
penjara. Di samping itu, hal tersebut dimaksudkan pula untuk menghindari
penjatuhan pidana penjara yang pendek.
Ayat
(4)
Berdasarkan
ketentuan ini kewenangan hakim untuk menjatuhkan pidana denda sebagai pengganti
pidana penjara, dibatasi dengan ketentuan pelaku Tindak Pidana tetap dijatuhi
pidana penjara meskipun diancam dengan pidana tunggal apabila yang bersangkutan
pernah dijatuhi pidana penjara karena Tindak Pidana yang dilakukannya setelah berumur
18 (delapan belas) tahun.
Pasal
72
Ayat
(1)
Ketentuan
ini memuat pembebasan bersyarat bagi narapidana yang menjalani pidana penjara.
Dalam ketentuan ini, narapidana yang diberikan pembebasan bersyarat hanya
narapidana yang masa pidananya paling singkat I (satu) tahun dan setelah
narapidana menjalani pidana penjara paling singkat 9 (sembilan) Bulan di Lembaga
pemasyarakatan dan berkelakuan baik. Pembebasan bersyarat diberikan dengan
harapan narapidana dapat dibina sedemikian rupa untuk berintegrasi kembali
dengan masyarakat. Oleh karena itu, selama menjalani pidana dalam lembaga
pemasyarakatan, setiap narapidana harus dipantau perkembangan hasil pembinaan
terhadap dirinya. Pembebasan bersyarat harus dipandang sebagai usaha pembinaan
dan bukan sebagai hadiah karena berkelakuan baik.
Ayat
(2)
Narapidana
yang telah melakukan beberapa Tindak Pidana sehingga harus menjalani beberapa
pidana penjara berturut-turut, maka untuk mempertimbangkan kemungkinan
pemberian pembebasan bersyarat, pidana tersebut dijumlahkan dan dianggap 1 (satu)
pidana.
Ayat
(4)
Pemberian
pembebasan bersyarat disertai dengan masa percobaan yakni sama dengan sisa
waktu pidana penjara yang masih belum dijalani ditambah 1 (satu) tahun. Dalam
masa percobaan ditentukan pula syarat-syarat yang harus dipenuhi narapidana.
Pasal
73
Ayat
(1)
Dalam
ketentuan ini ditetapkan syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
Syarat untuk tidak melakukan Tindak Pidana selama masa percobaan merupakan
syarat umum. Sedangkan syarat khusus dalam masa percobaan adalah perbuatan
tertentu yang harus dihindari atau harus dilakukan oleh narapidana, misalnya,
tidak boleh minum minuman keras. Syarat khusus tersebut tidak boleh mengurangi
hak narapidana, misalnya, hak menganut dan menjalankan ibadah sesuai dengan
agama atau kepercayaannya.
Ayat
(2)
Dalam
ketentuan ini perubahan atas syarat khusus dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan hasil pembimbingan terhadap narapidana yang bersangkutan.
Pasal
74
Ayat
(l)
Pertimbangan
penjatuhan pidana tutupan didasarkan pada motif dari pelaku Tindak Pidana yaitu
karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Tindak Pidana yang dilakukan
karena alasan ini pada dasarnya Tindak Pidana politik.
Ayat
(2)
Dalam
ketentuan ini, maksud yang patut dihormati harus ditentukan oleh hakim dan
harus termuat dalam pertimbangan putusannya.
Pasal
75
Pidana
pengawasan merupakan salah satu jenis pidana pokok, namun sebenarnya merupakan
cara pelaksanaan dari pidana penjara sehingga tidak diancamkan secara khusus
dalam perumusan suatu Tindak Pidana. Pidana pengawasan merupakan pembinaan di
luar lembaga atau di luar penjara, yang serupa dengan pidana penjara bersyarat
yang terdapat dalam Wetboek Van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
sebagaimana ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor I Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana). Pidana ini mempakan alternatif dari pidana penjara dan
tidak ditujukan untuk Tindak Pidana yang berat sifatnya.
Pasal
76
Ayat
(1)
Penjatuhan
pidana pengawasan terhadap orang yang melakukan Tindak Pidana yang diancam
dengan pidana penjara, sepenuhnya terletak pada pertimbangan hakim, dengan memperhatikan
keadaan dan perbuatan terpidana. Jenis pidana ini dijatuhkan kepada orang yang
pertama kali melakukan Tindak Pidana.
Ayat
(4)
Yang
dimaksud dengan "terpidana" adalah klien pemasyarakatan. Yang
dimaksud dengan “menjalani pidana penjara yang lamanya tidak lebih dari ancaman
pidana penjara bagi Tindak Pidana itu” adalah menjalani pidana yang
pelaksanaannya dijalankan setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara
dari Tindak Pidana baru.
Pasal
78
Ayat
(1)
Uang
dalam ketentuan ini adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik
Indonesia yaitu Rupiah (Rp).
Ayat
(2)
Dalam
menentukan satuan terkecil pidana denda sebagaimana ditentukan pada ayat ini
dipergunakan jumlah besarnya upah minimum harian.
Pasal
79
Ayat
(1)
Dalam
ketentuan ini, pidana denda dirumuskan secara kategoris.
Perumusan
secara kategoris ini dimaksudkan agar:
a.
Diperoleh besaran yang jelas tentang maksimum denda yang dicantumkan untuk
berbagai Tindak Pidana; dan
b.
Lebih mudah melakukan penyesuaian, jika terjadi perubahan ekonomi dan moneter.
Penetapan
tingkatan kategori I sampai dengan kategori VIII dihitung sebagai berikut:
a.
Maksimum kategori denda yang paling ringan (kategori I) adalah kelipatan 20
(dua puluh) dari minimum umum.
b.
Untuk kategori II adalah kelipatan 10 (sepuluh) kali dari kategori I; untuk
kategori III adalah kelipatan 5 (lima) kali dari kategori II; dan untuk
kategori IV adalah kelipatan 4 (empat) kali dari kategori III.
c.
Untuk kategori V sampai dengan kategori VIII ditentukan dari pembagian kategori
tertinggi dengan pola yang sama, yakni kategori VII adalah hasil pembagian 10
(sepuluh) dari kategori VIII, kategori VI adalah hasil pembagian 2,5 (dua koma
lima) dari kategori VII, dan kategori V adalah hasil pembagian 2 (dua) dari
kategori VI.
Pasal
8l
Ayat
(1)
Putusan
pengadilan dalam ketentuan ini memuat antara lain:
a.
Waktu pelaksanaan pidana denda;
b.
Cara pelaksanaan pidana denda;
c.
Penyitaan dan lelang; dan
d.
Pidana pengganti pidana denda
Ayat
(3)
Yang
dimaksud dengan “tidak dibayar” adalah tidak dibayar sama sekali atau dibayar
sebagian.
Pasal
82
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan "tidak memungkinkan", misalnya, aset yang dimiliki
masih dalam penguasaan pihak ketiga yang beriktikad baik.
Pasal
84
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah
kemungkinan tidak efektifnya penjatuhan pidana denda untuk seseorang yang telah
berulang kali melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda.
Pasal
85
Ayat
(1)
Pidana
kerja sosial dapat diterapkan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek
dan denda yang ringan. Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat dilakukan di rumah
sakit, rumah panti asuhan, panti lansia, sekolah, atau Lembaga-lembaga sosial
lainnya, dengan sebanyak mungkin disesuaikan dengan profesi terpidana.
Ayat
(2)
Ketentuan
ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan bentuk pidana
kerja sosial.
Huruf
c
Salah
satu pertimbangan yang harus diperhatikan dalam penjatuhan pidana kerja sosial
adalah harus ada persetujuan terdakwa sesuai dengan ketentuan dalam The Convention
for the Protectian of human Rights and Fundamental Freedom (Treaty of Rome
195O) dan the International Covenant on Civil and Political Rights (the
New York Convention, 1966).
Huruf
d
Riwayat
sosial terdakwa diperlukan untuk menilai latar belakang terdakwa serta kesiapan
yang bersangkutan, baik secara fisik maupun mental dalam menjalani pidana kerja
sosial.
Ayat
(s)
Pidana
kerja sosial ini tidak dibayar karena sifatnya sebagai pidana. Oleh karena itu,
pelaksanaan pidana ini tidak boleh mengandung hal-hal yang bersifat komersial.
Ayat
(8)
Dalam
melakukan pembimbingan, pembimbing kemasyarakatan dapat bekerja sama dengan
lembaga pemerintah yang membidangi pekerjaan sosial.
Pasal
86
Hak
terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim ditentukan secara limitatif,
yaitu terbatas pada yang tercantum dalam pasal ini. Dalam penjatuhan pidana
tambahan yang perlu mendapat perhatian adalah
pencabutan
hak tersebut jangan sampai mengakibatkan kematian perdata bagi seseorang,
artinya, yang bersangkutan kehilangan sama sekali haknya sebagai warga negara
yang harus dapat hidup secara wajar dan manusiawi.
Hak
yang dapat dicabut selalu dikaitkan dengan Tindak Pidana yang dilakukan oleh
terpidana. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai salah satu dari tujuan
pemidanaan, khususnya demi pengayoman atau pelindungan masyarakat.
Huruf
f
Yang
dimaksud dengan "profesi" adalah pekedaan yang memerlukan keahlian
tertentu serta yang memiliki kode etik tertentu pula.
Pasal
91
Huruf
e
Termasuk
di dalamnya Harta Kekayaan yang diperoleh dari Tindak Pidana.
Pasal
92
Ayat
(s)
Ketentuan
tentang pidana pengganti untuk pidana tambahan dirumuskan sebagai upaya untuk
menuntaskan/menyelesaikan pelaksanaan putusan hakim.
Pasal
93
Ayat
(1)
Pidana
tambahan berupa pengumuman putusan hakim dimaksudkan agar masyarakat mengetahui
perbuatan apa dan pidana yang bagaimana yang dijatuhkan kepada terpidana.
Pidana tambahan ini dimaksudkan untuk memberi pelindungan kepada masyarakat.
Ayat
(2)
Seperti
pada pidana perampasan Barang tertentu, jika terpidana tidak membayar biaya
pengumuman, maka berlaku ketentuan yang sama tentang pidana pengganti untuk
pidana denda.
Pasal
94
Ayat
(1)
Pencantuman
pidana tambahan berupa pembayaran ganti rugi menunjukkan adanya pengertian akan
penderitaan Korban suatu Tindak Pidana. Ganti rugi harus dibayarkan kepada
Korban atau ahli waris Korban. Untuk itu, hakim menentukan siapa yang merupakan
Korban yang perlu mendapat ganti rugi tersebut. Jika terpidana tidak membayar
ganti rugi yang ditetapkan oleh hakim, dikenakan ketentuan tentang pidana
pengganti untuk pidana denda.
Ayat
(2)
Ketentuan
mengenai pelaksanaan pidana denda diberlakukan terhadap pidana pembayaran ganti
rugi dengan catatan bahwa terpidana membayarkan uang tersebut kepada Korban dan
bukan kepada negara.
Pasal
98
Pidana
mati tidak terdapat dalam stelsel pidana pokok. Pidana mati ditentukan
dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar
bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati
adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana
penjara serunur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu
masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga
pidana mati tidak perlu dilaksanalan, dan dapat diganti dengan pidana penjara
seumur hidup.
Pasal
99
Ayat
(3)
Pelaksanaan
pidana mati dengan cara menembak terpidana didasarkan pada pertimbangan bahwa
sampai saat ini cara tersebut dinilai paling manusiawi. Dalam hal di kemudian
hari terdapat cara lain yang lebih manusiawi daripada dengan cara menembak
terpidana, pelaksanaan pidana mati disesuaikan dengan perkembangan tersebut.
Ayat
(4)
Pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil harus ditunda sampai ia melahirkan dan sampai bayi tidak lagi mengonsumsi air susu ibu. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan pidana mati tidak mengakibatkan terjadinya pembunuhan terhadap 2 (dua) makhluk dan menjamin hak asasi bayi yang baru dilahirkan.
By : Genuari Waruwu, S.H., C.Me.
Posting Komentar untuk "Pidana Ketentuan Dalam KUHP Terbaru Pasal 64 - Pasal 102"
Silahkan berkomentar dengan sopan
Posting Komentar